A.
Leukimia
Mieloblastik Kronik
a. DEFINISI LEUKIMIA KRONIK
Leukemia
mielositik kronik atau sering disebut juga leukemia granulositik kronik adalah
suatu penyakit klonal sel induk pluripoten yang digolongkan sebagai salah satu
penyakit mieloproliferatif (Price dan Wilson, 2006).
Penyakit
ini timbul pada tingkat sel induk pluripoten dan secara terus-menerus terkait
dengan gen gabungan BCR-ABL (Vardiman, 2007).
Penyakit
proliferatif adalah penyakit yang ditandai oleh proliferasi dari seri
granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi dapat
terlihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit, sampai
granulosit (Fadjari, 2006).
Leukemia
mielositik kronik yang paling umum adalah disertai dengan kromosom Philadelphia
(Ph) (Hoffbrand et al, 2005).
b.
PENYEBAB
Penyakit ini
berhubungan dengan suatu kelainan kromosom yang disebut kromosom filadelfia (Philadelphia ditemukan pada sekitar 80% dari pasien dengan
leukemia mielositik kronis).
c.
ETIOLOGI
·
Radiasi.
Hal ini ditunjang dengan beberapa laporan dari beberapa riset yang menangani
kasus Leukemia bahwa Para pegawai radiologi lebih sering menderita leukemia,
Penerita dengan radioterapi lebih sering menderita leukemia, Leukemia ditemukan
pada korban hidup kejadian bom atom Hiroshima dan Nagasaki, Jepang.
·
Leukemogenik.
Beberapa zat kimia dilaporkan telah diidentifikasi dapat mempengaruhi frekuensi
leukemia, misalnya racun lingkungan seperti benzena, bahan kimia inustri
seperti insektisida, obat-obatan yang digunakan untuk kemoterapi.
·
Herediter.
Penderita Down Syndrom memiliki insidensi leukemia akut 20 kali lebih besar
dari orang normal.
·
Virus. Beberapa jenis virus dapat menyebabkan leukemia, seperti retrovirus,
virus leukemia feline, HTLV-1 pada dewasa.
d.
Patofisiologi
LMK merupakan penyakit keganasan pertama yang dijumpai
berhubungan dengan kelainan genetic spesifik yaitu pada krosomom nomor 22 (Ph’
kromosom. Pada lebih dari 90 % pasien terdapat pergantian sumsum tulang normal
oleh sel dengan kromosom golongan G abnormal (nomor 22)-kromosom Philadelphia
atau Ph. Abnormalitas terjadi karena adanya translokasi bagian lengan panjang
(q) kromosom 22 ke kromosom lain, biasanya kromosom 9 pada golongan “C”. Ini
adalah abnormalitas akuisita yang ada dalam semua sel granulositik, eritroid
dan megakariositik yang sedang membelah dalam sumsum tulang dan juga dalam sel
limposit B. Peningkatan besar dalam massa graulosit total tubuh bertanggung
jawab untuk kebanyakan gambaran klinisnya.
Akibat kromosom lain (sering kromosom 9) menerima
translokasi lengan panjang (q) kromosom 22 maka akan terbentuk gen hybrid, yang
dapat memproduksi fosfoprotein-P210, yang memiliki aktivitas tirosin kinase
yang berbeda dari normal. Perubahan aktivitas tirosin kinase inilah yang
menyebabkan terjadinya transformasi selular yang mendasari timbulnya LMK. Terjadinya
krisis blastik pada LMK dihubungkan dengan munculnya gen yang memproduksi
cyklin-dependent kinase-2 inhibitor (CDKN-2) atau dikenal dengan Ph’-2 kromosom
pada kromosom nomor 9, dimana gen tersebut memiliki sifat mengaktifkan
pertumbuhan sel ganas. Di samping itu ada penelitian mendapatkan adanya T-sel
resptor abnormal denan teknik polimerase pada darah tepi penderita LMK.
Khususnya fase akselerasi dan blas.
Perjalanan penyakit leukemia
mielositik kronik terdiri atas 3 fase yaitu :
- Fase kronik
Fase ini ditandai dengan ekspansi
yang tinggi dari hemopoietik pool dengan peningkatan sel darah matur dengan
sedikit gangguan fungsional. Pada sumsum tulang, hepar, lien, dan darah perifer
dijumpai sel neoplasma yang sedikit. Lama fase kronik 3 tahun. Gejala klinis
akibat hipermetabolik seperti panas, keringat malam, lemah, perut kembung,
gangguan penglihatan, penurunan berat badan, gangguan penglihatan, dan
anorexia. Pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan anemia normokromik
normositer, dengan kadar leukosit meningkat antara 80.000-800.000/mmk. Pada
pemeriksaan apusan darah dapat dilihat seluruh stadium diferensiasi sel. Kadar
eosinofil dan basofil juga meningkat.
2. Fase
Akselerasi
Setelah kurang lebih 3 tahun,
leukemia mielositik kronik akan masuk ke fase akselerasi yang lebih sulit
dikendalikan daripada fase kronik dan fase ini dapat berlangsung selama
beberapa bulan (Hoffbrand et al, 2005).
Gejala
fase akselerasi :
- Panas tanpa penyebab yang jelas.
- Spleenomegali progresif.
- Trombositosis.
- Basofilia (>20%), Eosinofilia, Myeloblast (>5%).
- Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi neutrofil, mikro megakariosit atau mononuclear yang besar.
- Fibrosis kolagen pada sumsum tulang.
- Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti kromosom Philadelphia.
3. Fase
Krisis Blast
Fase ini ditandai dengan
ditemukannya lebih dari 30% sel blas pada sumsum tulang. Sel blas kebanyakan
adalah myeloid, tetapi dapat juga dijumpai eritroid, megakariositik, dan limfoblas.
Jika sel blas mencapai >100.000/mmk, maka penderita memiliki resiko terkena
sindrom hiperleukositosis.
e. PATHWAY
Terlampir
f.
KLASIFIKASI
CML terdiri atas enam
jenis leukemia, yaitu :
1.
Lekemia myeloid kronik, Ph positif
(CML, Ph+) (chronic granulocytic leukemia, CGL)
2.
Leukemia myeloid kronik, Ph
negatif (CML, Ph-) Kurang dari 5% pasien yang memiliki gambaran mengesankan
CML, tidak mempunyai kromosom Ph dan translokasi BCR – ABL. Pasien – pasien ini
biasanya mempunyai gambaran hematologik yang khas untuk mielodisplasia dan
prognosis tampaknya lebih buruk dibandingkan CML Ph+.
3.
Juvenile chronic myeloid leukemia
Penyakit yang jarang terjadi ini mengenai anak kecil dan mempunyai gambaran
klinis yang khas antara lain ruam kulit, limfadenopati, hepatosplenomegali, dan
infeksi rekuren. Sediaan apus darah memperlihatkan adanya monositosis. Kadar
hemoglobin F (HbF) yang tinggi merupakan ciri diagnostik yang berguna, kadar
fosfatase alkali netrofil normal dan hasil uji kromosom Philadelphia negatif.
Prognosisnya buruk dan SCT (Transplantasi Sel Induk) adalah pengobatan yang
terpilih.
4.
Chronic neutrophilic leukemia
& Eosinophilic leukemia Merupakan penyakit yang sangat jarang dijumpai
dengan terdapatnya proliferasi sel matur yang relatif murni. Mungkin didapatkan
splenomegali, dan secara umum prognosisnya baik.
5.
Chronic myelomonocytic leukemia
(CMML) CMML menggambarkan daerah yang bertumpang tindih antara penyakit
mieloproliferatif dan mielodisplasia, tetapi digolongkan ke dalam kelompok
mielodisplasia (Hoffbrand,2005).
6.
Eosinophilic leukimia Dengan
sebagian besar (>95%) CML tergolong sebagai CML Ph+ (Bakta, 2007).
g. MANIFESTASI KLINIS
1.
Sakit kepala
2.
Sesak nafas
3.
Anemia
4.
Pendarahan
5.
Epstaksis
6.
Mual, muntah
7.
Kurang nafsu makan
8.
BB menurun
9.
Demam
10. Rentan
terjadi infeksi
11. Memar pada bagian
tubuh
12. Gangguan
jaringan perifer
13. Hepatomegali
14. Nyeri perut
15. Nyeri tulang
dan persendian
16. Dipsnea
Menurut Hoffbrand et al
(2005), gambaran klinis secara umum antara lain :
- Gejala-gejala yang berhubungan dengan hipermetabolisme, misalnya penurunan berat badan, kelelahan, anoreksia, keringat malam.
- Spleenomegali hampir selalu ada dan seringkali bersifat masif. Pada beberapa pasien, perbesaran limpa disertai dengan rasa tidak nyaman, nyeri atau gangguan pencernaan.
- Gambaran anemia meliputi pucat, dispnea, dan takikardia.
- Memar, epistaksis, menorhagia, atau pendarahan dari tempat-tempat lain akibat fungsi trombosit yang abnormal.
- Gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
- Gejala yang jarang dijumpai meliputi gangguan penglihatan dan priapism.
h. KOMPLIKASI
Beberapa masalah dalam penanganan LMK :
1.
Masalah
metabolik
Masalah
metabolik terjadi akibat cepatnya sitolisis, yang akan mengakibatkan terjadinya
hiperurikemia, hiperkalemia dan hiperfosfatemia. Hal tersebut harus di
antisipasi, dan di terapi dengan pemberian cairan yang cukup, alkalinisasi dan
pemberian allupurinol.
2.
Hiperkulositosis
Peningkatan
ekstrim dari leukosit pada LMK dapat menyebabkan komplikasi leukostatik pada
beberapa organ khususnya otak, paru, retina dan penis. Sejak leukosit kurang
seimbang dengan eritrosit akan terjadi peningkatan viskositas darah akibat
peningkatan fraksi leukosit tersebut. Myeloblas merupakan sel yang lebih kaku
dibandingkan sengan leukosit lain, juga meningkatkan viskositas tersebut.
Jika hiperleukositosis mencapai > 200 000/mm3 atau > 50 000/mm3, penderita harus diterapi secara simultan dengan obat sitotoksik seperti hidroksiurea 50-75 mg/kgbb/hari dengan infus intravena, transfusi tukar dan transfusi eritrosit.
Jika hiperleukositosis mencapai > 200 000/mm3 atau > 50 000/mm3, penderita harus diterapi secara simultan dengan obat sitotoksik seperti hidroksiurea 50-75 mg/kgbb/hari dengan infus intravena, transfusi tukar dan transfusi eritrosit.
3.
Priapism
Nyeri persisten
pada penis mungkin merupakan akibat obstruksi oleh leukemia, adanya penyumbatan
pada korpora kavernosa akibat tertekannya saraf dan vena oleh pembesaran lien.
Aterapi mencakup pemberian analgetik, pemberian cairan yang cukup, kompres hangat,
radioterapi (pada penis atau lien) dan pemberian kemoterapi dosis tinggi (50-74
mg/kgbb/hari intravena).
4.
Leukemia
Meningeal
Leukemia
meningeal pada LMK fase kronis sering tidak diketahui dan jarang dijumpai pada
stadium blas. Kejadian komplikasi ini akan meningkat bila penderita bertahan
hidup lama pada fase blas. Gejala yang dijumpai berupa paralysis saraf pusat
dan udema papil. Diagnosis dibantu dengan ditemukannya sel blas pada cairan
cerebrospinal. Terapi adalah dengan memberikan metotreksat, walaupun hasilnya
kurang memuaskan.
5.
Myelofibrosis
LMK sering
terjadi bersama-sama dengan myelofibrosis dan akan meningkatkan produksi
kolagen pada sumsum tulang atau terjadi penurunan degradasi kolagen.
i.
PROGNOSIS
1.
20-30% penderita meninggal dalam waktu 2
tahun setelah penyakitnya terdiagnosis dan itu sekitar 25% meninggal setiap
tahunya.
2.
Banyak penderita yang bertahan hidup
selama 4 tahun atau lebih setelah penyakitnya terdiagnosis, tetapi pada
akhirnya meninggal pada fase akselerasi atau krisis blast.
3.
Angaka harapan hidup rata-rata setelah
krisis blast hanya 2 bulan, tetapi kemoterapi kadang bisa memperpanjang harapan
hidup sampai 8-12 bulan.
j.
PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIK
1.
Pemeriksaan Fisik: Dokter
akan memeriksa pembengkakan kelenjar getah bening, limpa, atau hati.
2. Hitung darah
lengkap : Menunjukan normositik, anemia normositik.
-
Hemoglobin: Dapat kurang dari 10g/100ml.
-
Retikulosit: Jumlah biasanya rendah.
-
Jumlah trombosit: Mungkin sangat rendah
(<50.000/mm).
-
SDP: Mungkin lebih dari 50.000/cm dengan peningkatan
SDP imatur (“menyipang ke kiri”). Mungkin ada blast leukemia.
3. PT/PTT: Memanjang.
4. LDH: Mungkin meningkat.
5. Asam urat serum/urine: Mungkin
meningkat.
6. Muramidase serum (lisozim): Peningkatan
pada leukemia monositik akut dan mielomonositik.
7. Copper serum: Meningkat.
8. Zink serum: Menurun.
9. Biopsi sumsum tulang: SDM
abnormal biasanya lebih dari 50% atau lebih dari SDP pada sumsum tulang. Sering
60%-90% dari sel blast, dengan prekusor eritroid, sel matur. Dan megakariositis
menurun.
10. Foto dada dan biopsy nodus limfe: Dapat mengindikasikan
derajat keterlibatan.
k. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
-
Ciri
Diagnostik :
1. Anemia
normokrom normositik
2. Lekositosis,
biasanya > 50.000/mm3
3. Hapusan
darah tepi : ditemukan jajaran lengkap seri mieloid
4. Kromosom
Philadelphia (+)
-
Ciri
tambahan :
1. Sutul : hiperseluler
dengan dominasi granulopoetik
2. Basofil
meningkat
3. Trombosit :
stadium awal rendah, umumnya normal atau meningkat
4. Kadar Vit.
B12 serum dan kapasitas ikat Vit. B12 meningkat
5. Fostase
alkali netrofil rendah
l.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis
banding dari leukemia myelositik kronik atau leukemia granulositik kronik:
·
Polisitemia
Rubra Vera (PRV).
·
Trombositemia.
·
Myelofibrosis.
·
Reaksi
leukemoid – tidak ada keganasan pada darah, tetapi kemungkinan ditemukan tumor
padat.
m. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.
Hematologi
Rutin
Pada fase kronis, kadar
Hb umumnya normal atau menurun, lekosit antara 20-60.000/mmk. Eosinofil dan
basofil jmlahnya meningkat dalam darah. Jumlah trombosit biasanya meningkat
500-600.000/mmk, tetapi dalam beberapa kasus dapat normal atau menurun. (Fadjari,
2006).
2. Apus Darah Tepi
Biasanya ditemukan
eritrosit normositik normokrom, sering ditemukan adanya polikromasi eritroblas
asidofil atau polikromatofil. Seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi seri
granulosit terlihat, presentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat,
demikian juga presentasi eosinofil dan basofil. (Fadjari, 2006).
3. Apus Sumsum Tulang
Selularitas
meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga
rasio mieloid : eritroid meningkat. Megakariosit juga meningkat. Dengan
pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis.
(Fadjari,2006).
4. Kariotipik
Menggunakan metode
FISH (Flourescen Insitu Hybridization), beberapa aberasi kromosom yang
sering ditemukan pada leukemia mieloid kronik antara lain : +8, +9, +19, +21,
i(17). (Fadjari, 2006).
5. Laboratorium lain.
Sering ditemukan
hiperurikemia.
n. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penanganan
kasus penyakit Leukemia biasanya dimulai dari gejala yang muncul, seperti
anemia, perdarahan dan infeksi. Secara garis besar penanganan dan pengobatan
Leukemia bisa dilakukan dengan cara single ataupun gabungan dari beberapa
metode dibawah ini:
Penatalaksanaan
terapi LMK bergantung pada fase3 penyakit, yaitu :
1.
Fase kronis
Obat pilihan :
·
B
usulphan (myleran) dosis 0,1 – 0,2 mg/kg BB/hari,
terapi dimulai jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3. Efek samping
berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, dan bahaya
timbulnya leukimia akut.
·
H
idroksiurea dosis ditritasi dari 500-2.000 mg, kemudian
diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-15.000/mm3,
efek sampingnya lebih sedikit.
·
I
nterveron alfa biasanya diberikan setelah jumlah
leukosit terkontrol oleh hidroksiurea.
2.
Fase akselerasi
Sama dengan terapi
leukimia akut, tetapi respons sangat rendah.
3.
Transpalantasi sumsum tulang
Memberikan harapan
penyembuhan jangka panjang, terutama untuk penderita yang berusia kurang dari
40 tahun. Penanganan yang umum diberikan adalah allogeneic peripheral
blood stem cell transplantation.
4.
Terapi dengan memakai prisipbiologi
molekuler
Obat baru imatinib
mesylate (gleevec) yang dapat menekan aktivitas tyrosin kinase, sehingga
menekan proliferasi sel mieloid.
Metode lain :
ü Chemotherapy/intrathecal
medications
ü Therapy
Radiasi. Metode ini sangat jarang sekali digunakan
ü Transplantasi
bone marrow (sumsum tulang)
ü Pemberian
obat-obatan tablet dan suntik
Sistem Therapi yang sering digunakan dalam menangani penderita leukemia adalah kombinasi antara kemoterapi dan pemberian obat-obatan yang berfokus pada pemberhentian produksi sel darah putih yang abnormal dalam bone marrow. Selanjutnya adalah penanganan terhadap beberapa gejala dan tanda yang telah ditampakkan oleh tubuh penderita dengan monitor yang komprehensive.
o.
TERAPI
Tujuan dari terapi leukemia mielositik kronik adalah untuk
mencapai remisi lengkap, baik remisi hematologi (digunakan obat-obat yang
bersifat mielosupresif), remisi sitogenetik, maupun remisi biomolekular. Begitu
tercapai remisi hematologis, dilanjutkan terapi interferondan atau cangkok
sumsum tulang (Fadjari, 2006).
Hidroksiurea
Hidroksiurea adalah suatu analog urea yang bekerja
menghambat enzim ribonukleotida reduktanse sehingga menyebabkan hambatan
sintesis ribonukleotida trifosfat dengan akibat terhentinya sintesis DNA pada
fase S. Obat ini diberikan per oral dan menunjukan bioavailabilitas yang
mendekati 100% (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Dosisnya
adalah 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis.
Apabila leukosit > 300.000/mmk, dosis boleh ditinggikan sampai maksimal
2,5gram/hari. Penggunaan dihentikan bila leukosit <8000/mmk atau trombosit
<100.000/mmk (Fadjari,2006).
Efek
sampingnya adalah mielosupresi, mual, muntah, diare, mukositis, sakit kepala,
letargi, dan kadang-kadang terjadi rash makulo popular dan pruritus
(Nafrialdi dan Gan, 2007).
Busulfan
Busulfan merupakan obat paliatif pilihan pada leukemia
mielositik kronik. Pada dosis rendah, depresi selektif telihat granulopoiesis
dan trombopoiesis, pada dosis yang lebih tinggi terlihat depresi eritropoiesis.
Obat ini sering menyebabkan depresi sumsum tulang sehingga pemeriksaan darah
harus sering dilakukan (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Untuk pengobatan jangka panjang pada leukemia mielositik
kronik dosisnya sebanyak 2-6mg/hari secara oral dan dapat dinaikan sampai 12
mg/hari. Obat ini diberikan sampai hitung leukosit mencapai <10.000/mmk,
kemudian pemberian obat dihentikan dan dimulai kembali setelah hitung leukosit
mencapai >50.000/mmk (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh busulfan antara
lain adalah asthenia, hopotensi, mual, muntah, dan penurunan berat badan,
selain itu juga dapat menyebabkan katarak, fibrosis, amenore, atrofi testis
dll. Busulfan juga dapat menyebabkan fibrosis paru yang jarang terjadi tetapi
bersifat fatal (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Imatinib
Imatinib merupakan penghambat tirosin kinase pada
onkoprotein BCR-ABL dan mencegah fosforilasi substrat kinase oleh ATP. Obat ini
diindikasikan untuk leukemia mielositik kronik yaitu suatu kelainan sel
hematopoietik yang ditandai dengan adanya kromosom Philadelphia dengan
translokasi t(9;22) yang menyebabkan fusi protein BCR-ABL. Imatinib diberikan
per oral dan diabsorpsi dengan baik oleh lambung. Obat ini terikat kuat pada
protein plasma, dimetabolisme oleh hati, dan dieliminasi melalui empedu dan
feses (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Dalam beberapa kasus leukemia mielositik kronik, dapat
terjadi resistensi penyakit terhadap penggunaan imatinib untuk fase kronik.
Apabila hal ini terjadi maka dapat diberikan dasatinib 140mg atau meningkatkan
dosis imatinib menjadi 800mg (Kantarjian et al, 2007).
Dosis untuk fase kronik adalah 400mg/hari setelah makan dan
dapat ditingkatkan sampai 600mg/hari bila tidak mencapai respon hematologik
setelah 3 bulan pemberian, atau pernah membaik tetapi kemudian memburuk dengan
Hb menjadi rendah dan atau leukosit meningkat dengan tanpa perubahan jumlah
trombosit. Dosis harus diturunkan bila terjadi neutropeni (<500/mmk) atau
trombositopeni (<50.000/mmk) atau peningkatan sGOT/sGPT dan bilirubin. Untuk
fase krisis blas dapat diberikan langsung 800mg/hari (Fadjari, 2006).
Interferon alfa-2a atau Interferon
alfa-2b
Perlu premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum
pemberian obat ini untuk mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flu
like syndrome. Dosis 5 juta IU/mk/hari subkutan sampai tercapai remisi
sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi. Sedangkan berdasar hasil
penelitian di Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/mk/hari
(Fadjari, 2006).
Cangkok sumsum tulang belakang
Data menunjukan bahwa cangkok sumsum tulang dapat
memperpanjang masa remisi sampai >9 tahun, terutama pada cangkok sumsum
tulang alogenik. Cangkok sumsum tulang tidak dilakukan pada kromosom Ph negatif
atau BCR-ABL negatif (Fadjari, 2006).
Daftar Pustaka
Besa, E., C.,
2010. Chronic Myelogenous Leukemia, Emedicine.
Dugdale, D., C.,
2010. Chronic Myelogenous Leukemia, MedLine.
Fadjari, H., 2006.
Ilmu Penyakit Dalam (4th ed), Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Hoffbrand, A. V.,
Pettit, J. E., Moss, P.A.H., 2005. Kapita Selekta Hematologi, (4th
ed), EGC, Jakarta.
Kantarjian H.,
Pasquini R.,Hamerschlak N.,Rousselot P.,Holowiecki J., Jootar S., et al.
Dasatinib or high-dose imatinib for chronic-phase chronic myeloid leukemia
after failure of first-line imatinib: a randomized phase 2 trial, Journal
of The American Society of Hematology 2007;12: 5143-5150
Markman, M., 2009.
Chronic Myeloid Leukemia and BCR-ABL, Emedicine.
Nafrialdi, Gan,
S., R., 2007. Farmakologi dan Terapi (5th ed),Balai
Penerbit FKUI, Jakarta.
Price, S., A.,
Wilson, L., M., 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
(6th ed), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Vardiman, J., W.,
2009. Chronic Myelogenous Leukemia, BCR-ABL1+, American Journal Clinical
Pathology, 132, 248-249.