Minggu, 13 Oktober 2013

Leukimia Mieloblastik Kronik



A.   Leukimia Mieloblastik Kronik

a.      DEFINISI LEUKIMIA KRONIK
Leukemia mielositik kronik atau sering disebut juga leukemia granulositik kronik adalah suatu penyakit klonal sel induk pluripoten yang digolongkan sebagai salah satu penyakit mieloproliferatif (Price dan Wilson, 2006).

Penyakit ini timbul pada tingkat sel induk pluripoten dan secara terus-menerus terkait dengan gen gabungan BCR-ABL (Vardiman, 2007).

Penyakit proliferatif adalah penyakit yang ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi dapat terlihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit, sampai granulosit (Fadjari, 2006).

Leukemia mielositik kronik yang paling umum adalah disertai dengan kromosom Philadelphia (Ph) (Hoffbrand et al, 2005).


b.      PENYEBAB
Penyakit ini berhubungan dengan suatu kelainan kromosom yang disebut kromosom filadelfia (Philadelphia ditemukan pada sekitar 80% dari pasien dengan leukemia mielositik kronis).


c.       ETIOLOGI
·         Radiasi. Hal ini ditunjang dengan beberapa laporan dari beberapa riset yang menangani kasus Leukemia bahwa Para pegawai radiologi lebih sering menderita leukemia, Penerita dengan radioterapi lebih sering menderita leukemia, Leukemia ditemukan pada korban hidup kejadian bom atom Hiroshima dan Nagasaki, Jepang.
·         Leukemogenik. Beberapa zat kimia dilaporkan telah diidentifikasi dapat mempengaruhi frekuensi leukemia, misalnya racun lingkungan seperti benzena, bahan kimia inustri seperti insektisida, obat-obatan yang digunakan untuk kemoterapi.
·          Herediter. Penderita Down Syndrom memiliki insidensi leukemia akut 20 kali lebih besar dari orang normal.
·             Virus. Beberapa jenis virus dapat menyebabkan leukemia, seperti retrovirus, virus leukemia feline, HTLV-1 pada dewasa.

d.    Patofisiologi
LMK merupakan penyakit keganasan pertama yang dijumpai berhubungan dengan kelainan genetic spesifik yaitu pada krosomom nomor 22 (Ph’ kromosom. Pada lebih dari 90 % pasien terdapat pergantian sumsum tulang normal oleh sel dengan kromosom golongan G abnormal (nomor 22)-kromosom Philadelphia atau Ph. Abnormalitas terjadi karena adanya translokasi bagian lengan panjang (q) kromosom 22 ke kromosom lain, biasanya kromosom 9 pada golongan “C”. Ini adalah abnormalitas akuisita yang ada dalam semua sel granulositik, eritroid dan megakariositik yang sedang membelah dalam sumsum tulang dan juga dalam sel limposit B. Peningkatan besar dalam massa graulosit total tubuh bertanggung jawab untuk kebanyakan gambaran klinisnya.
Akibat kromosom lain (sering kromosom 9) menerima translokasi lengan panjang (q) kromosom 22 maka akan terbentuk gen hybrid, yang dapat memproduksi fosfoprotein-P210, yang memiliki aktivitas tirosin kinase yang berbeda dari normal. Perubahan aktivitas tirosin kinase inilah yang menyebabkan terjadinya transformasi selular yang mendasari timbulnya LMK. Terjadinya krisis blastik pada LMK dihubungkan dengan munculnya gen yang memproduksi cyklin-dependent kinase-2 inhibitor (CDKN-2) atau dikenal dengan Ph’-2 kromosom pada kromosom nomor 9, dimana gen tersebut memiliki sifat mengaktifkan pertumbuhan sel ganas. Di samping itu ada penelitian mendapatkan adanya T-sel resptor abnormal denan teknik polimerase pada darah tepi penderita LMK. Khususnya fase akselerasi dan blas.

Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik terdiri atas 3 fase yaitu :
  1. Fase kronik
Fase ini ditandai dengan ekspansi yang tinggi dari hemopoietik pool dengan peningkatan sel darah matur dengan sedikit gangguan fungsional. Pada sumsum tulang, hepar, lien, dan darah perifer dijumpai sel neoplasma yang sedikit. Lama fase kronik 3 tahun. Gejala klinis akibat hipermetabolik seperti panas, keringat malam, lemah, perut kembung, gangguan penglihatan, penurunan berat badan, gangguan penglihatan, dan anorexia. Pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan anemia normokromik normositer, dengan kadar leukosit meningkat antara 80.000-800.000/mmk. Pada pemeriksaan apusan darah dapat dilihat seluruh stadium diferensiasi sel. Kadar eosinofil dan basofil juga meningkat.
2.      Fase Akselerasi
Setelah kurang lebih 3 tahun, leukemia mielositik kronik akan masuk ke fase akselerasi yang lebih sulit dikendalikan daripada fase kronik dan fase ini dapat berlangsung selama beberapa bulan (Hoffbrand et al, 2005).
Gejala fase akselerasi :
  • Panas tanpa penyebab yang jelas.
  • Spleenomegali progresif.
  • Trombositosis.
  • Basofilia (>20%), Eosinofilia, Myeloblast (>5%).
  • Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi neutrofil, mikro megakariosit  atau mononuclear yang besar.
  • Fibrosis kolagen pada sumsum tulang.
  • Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti kromosom Philadelphia.
3.      Fase Krisis Blast
Fase ini ditandai dengan ditemukannya lebih dari 30% sel blas pada sumsum tulang. Sel blas kebanyakan adalah myeloid, tetapi dapat juga dijumpai eritroid, megakariositik, dan limfoblas. Jika sel blas mencapai >100.000/mmk, maka penderita memiliki resiko terkena sindrom hiperleukositosis.
e.       PATHWAY
Terlampir

f.       KLASIFIKASI
CML terdiri atas enam jenis leukemia, yaitu :
1.      Lekemia myeloid kronik, Ph positif (CML, Ph+) (chronic granulocytic leukemia, CGL)
2.      Leukemia myeloid kronik, Ph negatif (CML, Ph-) Kurang dari 5% pasien yang memiliki gambaran mengesankan CML, tidak mempunyai kromosom Ph dan translokasi BCR – ABL. Pasien – pasien ini biasanya mempunyai gambaran hematologik yang khas untuk mielodisplasia dan prognosis tampaknya lebih buruk dibandingkan CML Ph+.
3.      Juvenile chronic myeloid leukemia Penyakit yang jarang terjadi ini mengenai anak kecil dan mempunyai gambaran klinis yang khas antara lain ruam kulit, limfadenopati, hepatosplenomegali, dan infeksi rekuren. Sediaan apus darah memperlihatkan adanya monositosis. Kadar hemoglobin F (HbF) yang tinggi merupakan ciri diagnostik yang berguna, kadar fosfatase alkali netrofil normal dan hasil uji kromosom Philadelphia negatif. Prognosisnya buruk dan SCT (Transplantasi Sel Induk) adalah pengobatan yang terpilih.
4.      Chronic neutrophilic leukemia & Eosinophilic leukemia Merupakan penyakit yang sangat jarang dijumpai dengan terdapatnya proliferasi sel matur yang relatif murni. Mungkin didapatkan splenomegali, dan secara umum prognosisnya baik.
5.      Chronic myelomonocytic leukemia (CMML) CMML menggambarkan daerah yang bertumpang tindih antara penyakit mieloproliferatif dan mielodisplasia, tetapi digolongkan ke dalam kelompok mielodisplasia (Hoffbrand,2005).
6.      Eosinophilic leukimia Dengan sebagian besar (>95%) CML tergolong sebagai CML Ph+ (Bakta, 2007).
g.      MANIFESTASI KLINIS
1.      Sakit kepala
2.      Sesak nafas
3.      Anemia
4.      Pendarahan
5.      Epstaksis
6.      Mual, muntah
7.      Kurang nafsu makan
8.      BB menurun
9.      Demam
10.  Rentan terjadi infeksi
11.  Memar pada bagian tubuh
12.  Gangguan jaringan perifer
13.  Hepatomegali
14.  Nyeri perut
15.  Nyeri tulang dan persendian
16.  Dipsnea

Menurut Hoffbrand et al (2005), gambaran klinis secara umum antara lain :
  1. Gejala-gejala yang berhubungan dengan hipermetabolisme, misalnya penurunan berat badan, kelelahan, anoreksia, keringat malam.
  2. Spleenomegali hampir selalu ada dan seringkali bersifat masif. Pada beberapa pasien, perbesaran limpa disertai dengan rasa tidak nyaman, nyeri atau gangguan pencernaan.
  3. Gambaran anemia meliputi pucat, dispnea, dan takikardia.
  4. Memar, epistaksis, menorhagia, atau pendarahan dari tempat-tempat lain akibat fungsi trombosit yang abnormal.
  5. Gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
  6. Gejala yang jarang dijumpai meliputi gangguan penglihatan dan priapism.


h.      KOMPLIKASI
Beberapa masalah dalam penanganan LMK :
1.      Masalah metabolik
Masalah metabolik terjadi akibat cepatnya sitolisis, yang akan mengakibatkan terjadinya hiperurikemia, hiperkalemia dan hiperfosfatemia. Hal tersebut harus di antisipasi, dan di terapi dengan pemberian cairan yang cukup, alkalinisasi dan pemberian allupurinol.
2.      Hiperkulositosis
Peningkatan ekstrim dari leukosit pada LMK dapat menyebabkan komplikasi leukostatik pada beberapa organ khususnya otak, paru, retina dan penis. Sejak leukosit kurang seimbang dengan eritrosit akan terjadi peningkatan viskositas darah akibat peningkatan fraksi leukosit tersebut. Myeloblas merupakan sel yang lebih kaku dibandingkan sengan leukosit lain, juga meningkatkan viskositas tersebut.
Jika hiperleukositosis mencapai > 200 000/mm3 atau > 50 000/mm3, penderita harus diterapi secara simultan dengan obat sitotoksik seperti hidroksiurea 50-75 mg/kgbb/hari dengan infus intravena, transfusi tukar dan transfusi eritrosit.
3.      Priapism
Nyeri persisten pada penis mungkin merupakan akibat obstruksi oleh leukemia, adanya penyumbatan pada korpora kavernosa akibat tertekannya saraf dan vena oleh pembesaran lien. Aterapi mencakup pemberian analgetik, pemberian cairan yang cukup, kompres hangat, radioterapi (pada penis atau lien) dan pemberian kemoterapi dosis tinggi (50-74 mg/kgbb/hari intravena).
4.      Leukemia Meningeal
Leukemia meningeal pada LMK fase kronis sering tidak diketahui dan jarang dijumpai pada stadium blas. Kejadian komplikasi ini akan meningkat bila penderita bertahan hidup lama pada fase blas. Gejala yang dijumpai berupa paralysis saraf pusat dan udema papil. Diagnosis dibantu dengan ditemukannya sel blas pada cairan cerebrospinal. Terapi adalah dengan memberikan metotreksat, walaupun hasilnya kurang memuaskan.
5.      Myelofibrosis
LMK sering terjadi bersama-sama dengan myelofibrosis dan akan meningkatkan produksi kolagen pada sumsum tulang atau terjadi penurunan degradasi kolagen.

i.        PROGNOSIS
1.      20-30% penderita meninggal dalam waktu 2 tahun setelah penyakitnya terdiagnosis dan itu sekitar 25% meninggal setiap tahunya.
2.      Banyak penderita yang bertahan hidup selama 4 tahun atau lebih setelah penyakitnya terdiagnosis, tetapi pada akhirnya meninggal pada fase akselerasi atau krisis blast.
3.      Angaka harapan hidup rata-rata setelah krisis blast hanya 2 bulan, tetapi kemoterapi kadang bisa memperpanjang harapan hidup sampai 8-12 bulan.

j.        PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1.      Pemeriksaan Fisik: Dokter akan memeriksa pembengkakan kelenjar getah bening, limpa, atau hati. 
2.      Hitung darah lengkap : Menunjukan normositik, anemia normositik.
-           Hemoglobin: Dapat kurang dari 10g/100ml.
-           Retikulosit: Jumlah biasanya rendah.
-           Jumlah trombosit: Mungkin sangat rendah (<50.000/mm).
-           SDP: Mungkin lebih dari 50.000/cm dengan peningkatan SDP imatur (“menyipang ke kiri”). Mungkin ada blast leukemia.
3.      PT/PTT: Memanjang.
4.      LDH: Mungkin meningkat.
5.      Asam urat serum/urine: Mungkin meningkat.
6.      Muramidase serum (lisozim): Peningkatan pada leukemia monositik akut dan mielomonositik.
7.      Copper serum: Meningkat.
8.      Zink serum: Menurun.
9.      Biopsi sumsum tulang: SDM abnormal biasanya lebih dari 50% atau lebih dari SDP pada sumsum tulang. Sering 60%-90% dari sel blast, dengan prekusor eritroid, sel matur. Dan megakariositis menurun.
10.  Foto dada dan biopsy nodus limfe: Dapat mengindikasikan derajat keterlibatan.

k.      PEMERIKSAAN LABORATORIUM
-        Ciri Diagnostik :
1.      Anemia normokrom normositik
2.      Lekositosis, biasanya > 50.000/mm3
3.      Hapusan darah tepi : ditemukan jajaran lengkap seri mieloid
4.      Kromosom Philadelphia (+)

-        Ciri tambahan :
1.      Sutul : hiperseluler dengan dominasi granulopoetik
2.      Basofil meningkat
3.      Trombosit : stadium awal rendah, umumnya normal atau meningkat
4.      Kadar Vit. B12 serum dan kapasitas ikat Vit. B12 meningkat
5.      Fostase alkali netrofil rendah

l.        DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari leukemia myelositik kronik atau leukemia granulositik kronik:
·         Polisitemia Rubra Vera (PRV).
·         Trombositemia.
·         Myelofibrosis.
·         Reaksi leukemoid – tidak ada keganasan pada darah, tetapi kemungkinan ditemukan tumor padat.




m.    PEMERIKSAAN PENUNJANG

1.      Hematologi Rutin
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau menurun, lekosit antara 20-60.000/mmk. Eosinofil dan basofil jmlahnya meningkat dalam darah. Jumlah trombosit biasanya meningkat 500-600.000/mmk, tetapi dalam beberapa kasus dapat normal atau menurun. (Fadjari, 2006).
2.      Apus Darah Tepi
Biasanya ditemukan eritrosit normositik normokrom, sering ditemukan adanya polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi seri granulosit terlihat, presentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat, demikian juga presentasi eosinofil dan basofil. (Fadjari, 2006).
3.      Apus Sumsum Tulang
Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio mieloid : eritroid meningkat. Megakariosit juga meningkat. Dengan pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis. (Fadjari,2006).
4.      Kariotipik
Menggunakan metode FISH (Flourescen Insitu Hybridization), beberapa aberasi kromosom yang sering ditemukan pada leukemia mieloid kronik antara lain : +8, +9, +19, +21, i(17). (Fadjari, 2006).
5.      Laboratorium lain.
Sering ditemukan hiperurikemia.

n.      PENATALAKSANAAN MEDIS
Penanganan kasus penyakit Leukemia biasanya dimulai dari gejala yang muncul, seperti anemia, perdarahan dan infeksi. Secara garis besar penanganan dan pengobatan Leukemia bisa dilakukan dengan cara single ataupun gabungan dari beberapa metode dibawah ini:
Penatalaksanaan terapi LMK bergantung pada fase3 penyakit, yaitu :
1.      Fase kronis
Obat pilihan :
·         B usulphan (myleran) dosis 0,1 – 0,2 mg/kg BB/hari, terapi dimulai jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3. Efek samping berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, dan bahaya timbulnya leukimia akut.
·         H idroksiurea dosis ditritasi dari 500-2.000 mg, kemudian diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-15.000/mm3, efek sampingnya lebih sedikit.
·         I nterveron alfa biasanya diberikan setelah jumlah leukosit terkontrol oleh hidroksiurea.
2.      Fase akselerasi
Sama dengan terapi leukimia akut, tetapi respons sangat rendah.
3.      Transpalantasi sumsum tulang
Memberikan harapan penyembuhan jangka panjang, terutama untuk penderita yang berusia kurang dari 40 tahun. Penanganan yang umum diberikan adalah allogeneic peripheral blood stem cell transplantation.
4.      Terapi dengan memakai prisipbiologi molekuler
Obat baru imatinib mesylate (gleevec) yang dapat menekan aktivitas tyrosin kinase, sehingga menekan proliferasi sel mieloid.

Metode lain :
ü  Chemotherapy/intrathecal medications
ü  Therapy Radiasi. Metode ini sangat jarang sekali digunakan
ü  Transplantasi bone marrow (sumsum tulang)
ü  Pemberian obat-obatan tablet dan suntik

Sistem Therapi yang sering digunakan dalam menangani penderita leukemia adalah kombinasi antara kemoterapi dan pemberian obat-obatan yang berfokus pada pemberhentian produksi sel darah putih yang abnormal dalam bone marrow. Selanjutnya adalah penanganan terhadap beberapa gejala dan tanda yang telah ditampakkan oleh tubuh penderita dengan monitor yang komprehensive.

o.      TERAPI
Tujuan dari terapi leukemia mielositik kronik adalah untuk mencapai remisi lengkap, baik remisi hematologi (digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif), remisi sitogenetik, maupun remisi biomolekular. Begitu tercapai remisi hematologis, dilanjutkan terapi interferondan atau cangkok sumsum tulang (Fadjari, 2006).
Hidroksiurea
Hidroksiurea adalah suatu analog urea yang bekerja menghambat enzim ribonukleotida reduktanse sehingga menyebabkan hambatan sintesis ribonukleotida trifosfat dengan akibat terhentinya sintesis DNA pada fase S. Obat ini diberikan per oral dan menunjukan bioavailabilitas yang mendekati 100% (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Dosisnya adalah 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Apabila leukosit > 300.000/mmk, dosis boleh ditinggikan sampai maksimal 2,5gram/hari. Penggunaan dihentikan bila leukosit <8000/mmk atau trombosit <100.000/mmk (Fadjari,2006).
Efek sampingnya adalah mielosupresi, mual, muntah, diare, mukositis, sakit kepala, letargi, dan kadang-kadang terjadi rash makulo popular dan pruritus (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Busulfan
Busulfan merupakan obat paliatif pilihan pada leukemia mielositik kronik. Pada dosis rendah, depresi selektif telihat granulopoiesis dan trombopoiesis, pada dosis yang lebih tinggi terlihat depresi eritropoiesis. Obat ini sering menyebabkan depresi sumsum tulang sehingga pemeriksaan darah harus sering dilakukan (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Untuk pengobatan jangka panjang pada leukemia mielositik kronik dosisnya sebanyak 2-6mg/hari secara oral dan dapat dinaikan sampai 12 mg/hari. Obat ini diberikan sampai hitung leukosit mencapai <10.000/mmk, kemudian pemberian obat dihentikan dan dimulai kembali setelah hitung leukosit mencapai >50.000/mmk (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh busulfan antara lain adalah asthenia, hopotensi, mual, muntah, dan penurunan berat badan, selain itu juga dapat menyebabkan katarak, fibrosis, amenore, atrofi testis dll. Busulfan juga dapat menyebabkan fibrosis paru yang jarang terjadi tetapi bersifat fatal (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Imatinib
Imatinib merupakan penghambat tirosin kinase pada onkoprotein BCR-ABL dan mencegah fosforilasi substrat kinase oleh ATP. Obat ini diindikasikan untuk leukemia mielositik kronik yaitu suatu kelainan sel hematopoietik yang ditandai dengan adanya kromosom Philadelphia dengan translokasi t(9;22) yang menyebabkan fusi protein BCR-ABL. Imatinib diberikan per oral dan diabsorpsi dengan baik oleh lambung. Obat ini terikat kuat pada protein plasma, dimetabolisme oleh hati, dan dieliminasi melalui empedu dan feses (Nafrialdi dan Gan, 2007).
Dalam beberapa kasus leukemia mielositik kronik, dapat terjadi resistensi penyakit terhadap penggunaan imatinib untuk fase kronik. Apabila hal ini terjadi maka dapat diberikan dasatinib 140mg atau meningkatkan dosis imatinib menjadi 800mg (Kantarjian et al, 2007).
Dosis untuk fase kronik adalah 400mg/hari setelah makan dan dapat ditingkatkan sampai 600mg/hari bila tidak mencapai respon hematologik setelah 3 bulan pemberian, atau pernah membaik tetapi kemudian memburuk dengan Hb menjadi rendah dan atau leukosit meningkat dengan tanpa perubahan jumlah trombosit. Dosis harus diturunkan bila terjadi neutropeni (<500/mmk) atau trombositopeni (<50.000/mmk) atau peningkatan sGOT/sGPT dan bilirubin. Untuk fase krisis blas dapat diberikan langsung 800mg/hari (Fadjari, 2006).
Interferon alfa-2a atau Interferon alfa-2b
Perlu premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian obat ini untuk mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flu like syndrome. Dosis 5 juta IU/mk/hari subkutan sampai tercapai remisi sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi. Sedangkan berdasar hasil penelitian di Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/mk/hari (Fadjari, 2006).
Cangkok sumsum tulang belakang
Data menunjukan bahwa cangkok sumsum tulang dapat memperpanjang masa remisi sampai >9 tahun, terutama pada cangkok sumsum tulang alogenik. Cangkok sumsum tulang tidak dilakukan pada kromosom Ph negatif atau BCR-ABL negatif (Fadjari, 2006).




Daftar Pustaka
Besa, E., C., 2010. Chronic Myelogenous Leukemia, Emedicine.
Dugdale, D., C., 2010. Chronic Myelogenous Leukemia, MedLine.
Fadjari, H., 2006. Ilmu Penyakit Dalam (4th ed), Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Hoffbrand, A. V., Pettit, J. E., Moss, P.A.H., 2005. Kapita Selekta Hematologi, (4th ed), EGC, Jakarta.
Kantarjian H., Pasquini R.,Hamerschlak N.,Rousselot P.,Holowiecki J., Jootar S., et al. Dasatinib or high-dose imatinib for chronic-phase chronic myeloid leukemia after failure of first-line imatinib: a randomized phase 2 trial, Journal of The American Society of Hematology 2007;12: 5143-5150
Markman, M., 2009. Chronic Myeloid Leukemia and BCR-ABL, Emedicine.
Nafrialdi, Gan, S., R., 2007. Farmakologi dan Terapi (5th ed),Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Price, S., A., Wilson, L., M., 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit (6th ed), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Vardiman, J., W., 2009. Chronic Myelogenous Leukemia, BCR-ABL1+, American Journal Clinical Pathology, 132, 248-249.

3 komentar:

  1. terimakasih banyak, sangat membantu sekali..

    http://obatleukemia.toko-gumilar.com/

    BalasHapus
  2. itu judulnya Mielobalstik, tapi penjelasannya definisinya mielositik, itu sama aja memangnya ya?

    BalasHapus
  3. Terima kasih sangat bermanfaat dan membantu sekali.

    BalasHapus